CERITA KE- 6 : MARAH BERUJUNG CELAKA
MARAH BERUJUNG CELAKA
Duar ...pyar...terdengar suara benda yang terbuat dari
kaca jatuh dari ruang tamu. Ibu yang sedang memasak di dapur tergopoh-gopoh
mendekati asal suara. Terlihat di sana
vas bunga kesayangan ibu pecah berkeping-keping. Dekat vas yang jatuh
tersebut terlihat Cilla menampakka wajah takut dan di dekatnya ada Cillo yang
berbeda raut mukanya, dia menampakkan wajah marah yang tidak tertahankan.
Ditangannya terlihat raket yang tadi dimainkannya dengan Cilla.
“Ada apa Cilla, apa yang
terjadi?” tanya ibu dengan nada cukup tinggi.
“Vas ibu pecah,”
jawab Cilla sambil terisak.
“Apa yang terjadi, kenapa vas
kesayangan ibu sampai pecah berkeping-keping seperti ini?” tanya ibu
sekali lagi tetap dengan nada cukup tinggi.
Ibu terlihat marah sekaligus
sedih.
“Ibuu....maafkan aku,” jawab Cilla menangis tersedu saat dia melihat
raut muka sedih ibu, dia juga ikut merasa sedih.
“Jawab pertanyaan ibu Cillo,
ada apa?” tanya ibu sekali lagi
“Aku marah ibu, karena aku
kalah bermain badminton dengan Cilla dan vas itu kupecahkan,” jawab Cillo tanpa rasa bersalah.
“Cillo ... sampai kapan kau terus seperti itu kalau marah,
merusak mainan, memecahkan gelas bahkan kemarin kau membanting mobil-mobilan
Azka sampai temanmu itu menangis. Cillo ibu sedih sekali dengan sifatmu itu,” jawab ibu dengan suara hampir menangis karena
sedih.
“Ah ibu, kenapa aku terus saja
dimarahi. Kenapa aku selalu dilarang-larang. Aku maraah...,” teriak Cillo sambil lari menuju halaman.
Lalu Cillo pergi begitu saja tanpa pamit dengan
ibunya.
Ibu yang melihat hal itu sangat sedih sekali sampai
menitikkan air mata, Cilla yang melihat hal itu menghampiri ibunya sambil
memeluknya. Ibupun ikut memeluk tubuh Cilla.
“Ibu, jangan bersedih,” kata Cilla dengan nada pelan.
“Apa yang harus ibu lakukan
untuk merubah sifat pemarah Cillo ya anakku?” tanya ibu kepada Cilla.
Cilla terdiam tak bisa
berkata-kata, dalam hati dia berdo’a kepada Tuhan, semoga Cillo diberi
kesadaran akan kesalahannya.
Cilla dan Cillo adalah saudara kandung, namun memiliki
sifat yang berbeda. Cilla si kakak merupakan anak yang penurut dan lembut,
sedangkan Cillo sangat pemarah. Bahkan ketika marah tak segan-segan dia merusak
barang yang ada di dekatnya. Barang itu bisa dibanting, ditendang maupun
dilempar. Ayah, ibu dan Cilla seringkali mengingatkan agar Cillo berubah dan
tidak suka marah dan merusak barang. Namun Cillo tidak mau mendengar nasehat
orang-orang yang menyayanginya. Seperti kejadian hari ini dimana Cillo dengan
sengaja memecahkan vas bunga kesayangan ibu. Bukannya meminta maaf, dia malah
pergi begitu saja dari rumah menuju ke lapangan. Sepanjang jalan Cillo
mengumpat dan marah-marah.
“Ah... kenapa selalu kak Cilla
yang menang saat bermain bulutangkis, bukankah aku ingin jadi pemenang juga.
Biar saja ibu sedih ... biar kak Cilla tahu kalau aku marah karena kalah,”
kata-kata Cillo keluar begitu
saja dengan nada marah.
“Aku akan bermain di lapangan,
biar ibu tambah sedih dan mencariku,” sambungnya lagi.
Dan Cillo terus berjalan menuju
tanah lapang. Di sana dilihatnya Azka dan Lodi sedang bermain layang-layang.
“Hai Azka...bolehkah aku ikut
bermain layang-layang denganmu?” teriak Cillo kepada Azka
Cillo melihat layang-layang
Azka yang terbang di angkasa tertiup angin. Layang-layang Azka terlihat indah
dan gagah dengan warna birunya, begitupun dengan layang-layang Lodi yang
berwarna merah. Rupanya layang-layang keduanya sedang bertarung dan
memperebutkan predikat juara, terlihat benang layang-layang keduanya saling
bergesekan. Cillo yang melihat itu semakin iri, dia merebut layang-layang Azka.
“Jangan Cillo, itu
layang-layangku. Bukankah kemarin mobil-mobilanku sudah kau rusak?” teriak Azka
saat layang-layangnya direbut Cillo.
“Aah ...
sudah, diamlah. Lihat saja
layang-layangmu pasti menang kalau aku yang memainkan,” jawab Cillo tidak peduli.
Azka hanya bisa diam, karena
dia takut melihat Cillo marah.
Akhirnya Cillo bertarung
layang-layang dengan Lodi menggunakan layang-layang Azka. Dan tidak diduga
tiba-tiba benang layang-layang Azka putus. Azka yang melihat hal itu menagis
tersedu-sedu.
“Cillo...layang-layangku kau
putuskan benangnya, ayo ganti dengan yang baru,” kata Azka pada Cillo.
“Tidak... aku tidak mau
mengganti layang-layangmu, gara-gara layang-layangmu aku jadi kalah bertarung
dengan Lodi,” jawab Cillo setengah berteriak.
“Tapi kamu salah Cillo dan
harus bertanggungjawab,” jawab Azka sambil menangis.
“Aah ...
sudahlah, kupukul kau nanti,” jawab Cillo ketus sambil pergi berlalu begitu
saja dari hadapan Azka tanpa rasa bersalah.
Cillo pergi dengan marah dari hadapan Azka, di menendang
apapun yang ada di depannya. Daun, kaleng dan apapun yang ada dihadapannya dia
tendang dengan sekuat tenaga, dia terlihat sangat marah.
Tiba-tiba...
“Aduuuuh ...
kakiku. Aduuuh ... toloong ...
toloooong”, teriak Cillo keras
sekali.
Cillo melihat kakinya berdarah
dan bengkak, dia merasakan sakit yang luar biasa di kakinya. Dan sekilas dia
melihat ada batu besar di depannya. Rupanya saat dia menendang daun, di bawah
daun itu ada batu yang ujungnya lancip dan itulah penyebab kakinya berdarah dan
bengkak.
“Toloong
... tolong aku”, teriak Cillo yang kesakitan dan tidak
bisa jalan.
Beberapa lama Cillo mengerang
kesakitan di tempatnya, sampai ada pak Robi tetangganya lewat di depannya.
“ Ada apa Cillo?” tanya pak Robi
Tapi setelah melihat luka
dikaki Cillo, Pak Robi segera menggendongnya dan mengantar Cillo pulang ke
rumah. Sesampai di rumah ibu segera mengambil air es untuk membersihkan luka
Cillo dan menghentikan pendarahan dikakinya. Ibu merawat Cillo dengan penuh
kasih sayang dan sambil menangis berderaian air mata.
”Ibu
... maafkan Cillo selama ini yang suka marah kepadamu,
sekarang aku sadar kalau sikapku selama ini telah menyakiti ibu, kakak dan
teman-temanku. Hari ini aku mendapatkan akibat dari perbuatanku sendiri,” kata Cillo lirih.
“Oh...anak kesayanganku, ibu
senang mendengar apa yang kau katakan. Jangan ulangi perbuatanmu dan mintalah
maaf pada semua orang yang pernah kau sakiti, dengan begitu Alloh akan
mengampuni semua dosa-dosamu. Semoga kau lekas sembuh anakku ...” jawab ibu sambil memeluk Cillo dengan penuh
cinta.
“Baiklah ibu ... akan aku lakukan yang ibu
katakan. Aku janji mulai hari ini aku akan menjadi anak yang baik, penurut dan
sabar,” janji Cillo pada ibunya.
Mulai hari itu, Cillo benar-benar berubah. Dia menjadi
anak yang baik, penurut dan tidak suka marah. Dia juga menjadi anak yang suka
membantu dan teman-teman semakin menyayanginya.
Ide ceritanya banyak Bu Dhiana
BalasHapusSy mmg suka berimajinasi pak pri 😁
Hapus