Jangan Pukul Aku Mama ...

 

* Gambar dari Google


Jangan Pukul Aku Mama ... 

“Plak ... plak ... plak ...”, terdengar suara itu lagi dari rumah bercat putih di perumahan sangat sederhana di pinggiran kota Surabaya. Tetangga sekitar sudah hafal benar, kalau itu suara tamparan Niken untuk anak pertamanya Ardi. Hampir setiap hari terdengar suara-suara bentakan, teriakan, suara benturan dan pukulan. Banyak tetangga mengingatkan, namun selalu dan selalu saja terulang lagi. Niken seakan tak pernah berhenti menyakiti anak sulungnya sendiri. Sering tetangga bertanya, sebetulnya apa yang terjadi? Kenapa Niken selalu menyiksa anak sulungnya?. Namun tak pernah mendapatkan jawaban atas semua itu, karena keluarga itu sangat tertutup. Pintu rumahnyapun tak pernah terbuka, anak-anaknya tidak pernah diajak keluar. Hanya sesekali terlihat Niken keluar rumah untuk berbelanja dan Heru suaminya keluar rumah di pagi hari dan pulang di malam hari dengan seringnya dalam kondisi mabuk.

Namanya Ardi, dia adalah anak pertama dari ayah bernama Heru dan ibu bernama Niken. Dia lahir pada kondisi yang kurang diharapkan. Karena Niken dan Heru belum siap untuk memiliki anak. Mereka baru saja menikah, ingin menikmati indahnya bulan madu dulu. Niken masih berusia sangat muda yaitu 19 tahun, dia baru lulus SMA saat menikah dengan Heru yang baru berusia 22 tahun. Sebenarnya orang tua Niken ingin agar anaknya bekerja dulu sambil kuliah dan kurang menyetujui dia menikah muda. Namun dengan keberaniannya Heru meyakinkan orang tua Niken kalau dia bisa membahagiakan dan menafkahi Niken dengan pekerjaannya sebagai satpam di sebuah mall besar di Surabaya. Akhirnya orang tua Niken menyetujui dan menyerahkan putrinya untuk dinikahi Heru.

Semua awalnya indah, Niken langsung hamil di bulan pertama pernikahan mereka. Walau belum mengharapkan hamil, namun melihat anak pertama laki-lakinya yang tampan itu cukup membahagiakan. Selanjutnya di bulan kelima kelahiran Ardi, Niken hamil lagi. Kehamilannya tidak mudah karena “nyidam” yang teramat sangat. Ditambah sifat Heru yang sangat cuek dengan keadaan Niken. Dia tidak peduli dengan kesibukan Niken merawat Ardi dan mengatasi mual dan pusing di kehamilan keduanya.

“Mas bantu aku memandikan Ardi ya?” kata Niken di pagi itu.

“Memandikan anak itu tugasmu, sudah aku mau kerja,”jawab Heru ketus.

“Tapi aku pusing sekali mas,” kata Niken.

“Sudah jangan manja,”jawab Heru tanpa peduli dan langsung berangkat kerja.

Niken memandang punggung suaminya yang pergi dari rumah tanpa pamit. Setelah itu dia pergi ke kamar untuk melihat Ardi yang tiba-tiba menangis.

“Aduuuuh...ada apa lagi menangis, tidak tahukah kamu kalau mama ini lelaaah...lelah...mama pusing,” teriak Niken.

Tangis Ardi bukannya reda, namun bertambah kencang. Niken memandang Ardi dengan marah.

“Kamu...kenapa rewel terus. Ardiii....diam!, teriak Niken sambil mencubit pantat Ardi.

Ardi semakin keras menangis dan itu membuat emosi Niken semakin memuncak. Tidak cukup mencubit, dia tampar pipi gembil Ardi sampai memerah. Niken seperti tidak ingat lagi karena dikuasai emosinya. Dia terus saja menampar, mencubit dan memukul Ardi, saat melakukan itu dia merasa sangat lega. Ardi menangis meronta-ronta dan dia tidak peduli. Setelah sepersekian menit Niken seperti tersadar, dia pandang anaknya yang menangis tersedu, dengan pipi merah, lebam-lebam biru di tangannya. Dia peluk anaknya sambil ikut menangis.

“Ardi ... maafkan mama,” katanya pelan sambil memeluk Ardi.

Ada penyesalan yang tiba-tiba menyusup dalam hatinya. Tapi seperti ada desakan amarah yang menyuruhnya melakukan itu. Dia merasa lelah melakukan semua sendiri, suaminya sama sekali tidak mau membantunya merawat Ardi dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Heru hanya tahu berangkat kerja pagi, makanan siap, rumah bersih, di rumah tidur dan main game, lalu pulang kerja saat malam menjelang. Bahkan akhir-akhir ini dia kadang juga tidak pulang dengan alasan lembur kerjanya. Heru sudah benar-benar berubah. Itu membuat Niken semakin depresi menghadapi semua. Sedangkan tetangga kanan kiri perumahan yang di kontraknya tidak banyak yang dia kenal dan kelihatan sibuk sendiri dengan kehidupan mereka.

            Suatu hari setelah anak kedua mereka lahir, Heru pulang dalam keadaan mabuk. Niken yang seharian sudah lelah mengurusi dua anaknya, ditambah anak keduanya sedang sakit dan rewel, melihat suaminya pulang dalam keadaan mabuk akhirnya bertanya dengan marahnya.

            “Mas ... kamu ini apa-apaan, pulang setiap hari larut malam, mabuk lagi ... apakah kamu tidak tahu betapa lelahnya aku mengurus anak-anak kita sendirian?” kata Niken dengan nada berteriak.

            “Istri cerewet ... kamu tidak tahu, hari ini akau di PHK ... di PHK ... artinya aku tidak punya pekerjaan lagiiiiiii,” jawab Ardi dengan nada berteriak.

Niken kaget sekali mendengar semua itu, dia berfikir bagaimana kehidupan dia selanjutnya. Membayar kontrakan, makan sehari-hari, listrik, susu untuk Ardi dan masih banyak lagi yang lainnya. Minta bantuan orang tuanya, itu tidak mungkin!!!. Dipandangnya dengan nanar suaminya yang roboh di kursi ruang tamu dalam keadaan mabuk. Kepalanya mendadak pusing, apalagi ditambah kedua anaknya menangis bersamaan karena mendengar teriakan orang tuanya.

            Keesokan harinya dan hari-hari selanjutnya, sering terdengar pertengkaran dari rumah kontrakan Niken. Gelas, piring dan mangkok pecah karena dibanting, teriakan-teriakan marah Niken dan Heru serta tangisan kedua anak mereka terdengar mewarnai hari-hari di rumah itu. Niken yang biasanya bisa lembut pada anak-anaknya menjadi sering marah dan Ardi menjadi sasaran kemarahannya. Cubitan, tamparan, pukulan sering diterima raga kecil yang belum tahu apa-apa. Niken seakan gelap mata saat menghajar Ardi. Dia seperti melimpahkan kemarahannya pada Ardi, puas ... seperti ada kepuasan saat tangannya melakukan kekerasan pada Ardi. Walaupun di sudut hatinya yang paling dalam, selalu ada penyesalan setelah melakukan semua itu. Saat malam tiba sering dia menangis sambil menatap wajah Ardi yang sekarang tirus tidak segembil dulu, karena sudah tidak minum susu, dia elus luka-luka lebam dan membiru di tubuh kurus Ardi.

            “Ardi ... maafkan mama nak,” kata Niken sambil menangis tersedu

            Namun keadaan itu berubah saat pagi tiba, saat melihat Heru tidur mendengkur tanpa memikirkan bagaimana repot dan lelahnya dia mengurus dua anaknya, beras  dan gas yang habis serta token listrik yang terus berbunyi. Apalagi kalau bayar kontrakan sudah jatuh tempo. Duuuh ... kepala Niken sudah begitu pusingnya. Dan bisa ditebak, kalau sudah seperti itu ... Ardilah yang akan menjadi pelampiasan kemarahannya. Berbuat salah sedikit saja, tidak segan Niken memukulnya berulang-ulang tanpa ampun. Heru yang mengetahui itu hanya diam saja melihat istrinya menghajar Ardi, malah suatu ketika dia ikut menyulutkan rokoknya di tangan Ardi. Ardi kecil berteriak, menangis menahan sakit. Dia tidak faham mengapa orang tuanya menyiksa seperti itu. Dipandangnya ayah ibunya yang menghajarnya dengan tatapan memelas. Tapi ... ternyata itu tidak menghentikan siksaan orang tuanya. Itu terjadi berulang dan berulang .....

            “Brug ...”, terdengar benda jatuh dari dalam kamar di pagi itu, disusul dengan tangisan bayi Niken. Niken yang sedang mencuci popok bayinya berlari menuju kamar. Dilihatnya Ardi dengan wajah ketakutan meringkuk di sudut kamar, sementara adiknya terjatuh di lantai.

            “Ardiiiiiii ... apa yang kamu lakukan”, teriak Niken sambil menggendong bayinya dan menenangkannya.

            “Ukan Aldi ... enggak ...Aldi ... enggak,” jawab Ardi semakin ketakutan.

Tatap mata Ardi pasrah memandang mamanya, dia tahu kapanpun dia bisa saja disakiti oleh ibunya. Disiksa ...

            Bayi yang ada di gendongan Niken tidak juga berhenti menangis, saat diberi ASIpun menolak, karena ternyata ASI Niken tidak lancar karena selain kurang asupan gizi juga tingkat stres yang dialami Niken sangat tinggi karena betapa banyak masalah dalam hidupnya. Dukungan suami dan keluargapun tidak pernah dia dapatkan. Tiba-tiba Niken melihat sapu ada di pojok kamar, dia lihat bayinya yang terus saja menangis dan dilihatnya Ardi meringkuk di pojok kamar. Diletakkannya bayinya di kasur butut yang ada di kamar itu dan dia mengambil sapu serta berjalan menuju ke arah Ardi, matanya menyala marah ... Ardi semakin meringkuk ketakutan.

            “Atuuut ... mama .... Aldi gak akal ,” suara cadel Ardi bergetar penuh ketakutan.

Namun itu tidak membuat iba Niken, ditariknya tubuh kurus Ardi sambi jatuh dari kasur, dipukulnya tangan anak malang itu berulang dengan gagang sapu, terus dan terus dipukul. Ardi meraung-raung disusul dengan tangisan bayi yang di atas Kasur membuat Niken semakin kalap. Gagang sapu itu dipukulkannya di kaki Ardi, lalu punggungnya dan dengan keras dipukulkan di kepalanya. Tiba-tiba ... Ardi berhenti menangis, tubuhnya tersungkur di lantai dengan darah mengucur deras dari pelipisnya. Niken yang awalnya terus memukulnya akhirnya berhenti. Dipegangnya tubuh Ardi dan dilihatnya darah yang terus mengucur deras dari pelipis Ardi yang robek terkena paku yang ternyata menancap di ujung gagang sapu. Niken kebingungan...

            “Tolooong ... tolooooong ... toloooong,” Niken menangis meraung-raung dan meminta tolong.

            Satu persatu tetangga mulai berdatangan, mereka segera membopong tubuh kurus Ardi yang bersimbah darah menuju mobil pak RW dan membawanya ke rumah sakit. Niken mengikuti pak RW yang membopong tubuh Ardi. Dari kejauhan tampak Heru heran dengan keramaian yang ada di rumahnya, namun saat dia melihat tubuh Ardi yang digendong pak RW dia tahu bahwa anaknya sedang terluka. Dia lari mendekati pak RW yang berjalan tergesa-gesa diiringi tatapan sinis para tetangganya. Saat sudah dekat dia melihat Niken menangis tersedu-sedu dekat pintu mobil yang terbuka. Pak RW menyerahkan Ardi pada Heru untuk dipangkummasuk ke dalam mobil, Niken duduk di dekatnya dengan tatapan kosong sambil menangis tersedu-sedu.

            “Niken ... apa yang terjadi dengan Ardi?” tanya Heru dengan nada tinggi, karena sebenarnya dia yakin yang terjadi pada Ardi karena perbuatan istrinya.

Dilihatnya mata Ardi terpejam, darah terus mengalir hingga membasahi lengannya. Heru menatap tajam Niken dan yang di tatap menundukkan kepala sambil terus menangis.

            Sesampainya di rumah sakit mereka langsung menuju UGD, Ardi segera ditangani oleh beberapa perawat, Namun saat menidurkan Ardi di bad UGD dua perawat yang menangani terlihat terkejut dan berpandangan. Mereka memegang nadi Ardi dan meletakkan tangan di lubang hidungnya. Kedua perawat itu saling bertatapan dan menghela nafas Panjang.

            “Maaf bapak ibu ... anak ini sudah meninggal dan tidak bisa diselamatkan, terlalu banyak darah yang keluar,” kata salah satu perawat dengan nada pelan, namun bagai petir menyambar di kedua telinga Niken dan Heru. Niken menjerit seketika sementara Heru menangis sambil menjambak rambutnya sendiri.

Niken berlari mendekati tubuh kurus Ardi, dipeluknya tubuh kurus itu.

            “Naaaaak ... bangun naaaak ... maafkan ibuuuuu... maafkan ibu;” teriaknya sambil memeluk tubuh Ardi.

Namun penyesalan Niken takkan bisa mengembalikan hidup dan senyum Ardi, dia pandangi wajah anaknya yang seringkali menjadi pelampiasan kemarahannya. Berkelebat bayangan hal buruk yang selama ini dilakukannya membuat dia menangis tersedu  menyesali semuanya. Dia ciumi wajah Ardi dan dia lihat ada senyum di sudut bibirnya seakan dia berkata

            “Mama ... aku sudah tidak sakit lagi “

            “Mama ... jangan pukul aku”

            “Ardiiiiiiiiiiiii ... maafkan mama,” teriak Niken dan diapun pingsan.

            Niken bangun dan dia lihat sekeliling ternyata dia tidur di bad rumah sakit dengan dikelilingi beberapa polisi. Sekilas dia mendengar percakapan polisi dengan pak RW dan Heru suaminya,

            “Menurut hasil outopsi, anak bapak seringkali mendapat penyiksaan dan tadi selain luka sobek di kepalanya, yang membuat dia meninggal karena ada tempurung kepalanya yang retak. Setelah istri bapak siuman, kami akan segera melakukan pemeriksaan,” terdengar suara polisi di telinga Niken.

            Niken diam termangu, mengenang Ardi anak sulungnya yang tidak pernah bahagia, selalu dia siksa padahal anak itu begitu penurut. Dia juga terkenang saat Ardi merengek laparpun dia malah memukulnya. Tiba-tiba tangisnya pecah.

            “Ardi ... maafkan ibu ..’” katanya pelan penuh penyesalan.

 

 

 

           

           

 

           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi buku Slilit Sang Kyai

WEBINAR LITERASI PGRI KABUPATEN TULUNGAGUNG

DONGENG : TIDAK BISA HIDUP SENDIRI