CERPEN REMAJA : AKU CANTIK

Aku Cantik



 

“Cantik itu perlu

Tapi pintar itu lebih perlu

Cantik itu penting

Tapi kebaikan hati lebih penting

Cantik itu utama

Tapi bersyukur itu lebih utama”

*Nasehat Ibu

 

Kubaca sekali lagi tulisan yang kutempel di kamar kosku yang besuk harus kutinggalkan karena sudah selesainya study S1-ku. Tulisan tangan yang kutulis di kertas kecil warna pink dan kulaminating itu tertempel disana sudah 4 tahun yang lalu. Kubaca setiap hari tanpa pernah terlewatkan sebelum aku berangkat kuliah,  selayaknya aku selalu membaca bismillah sebelum melakukan sesuatu. Tulisan itu seperti mantra yang menyihirku menjadi berbeda, menjadi lebih percaya diri dan berharga. Saat membaca tulisan itu, aku seperti menemukan kedamaian pelukan ibu. Wanita yang selalu menemani hari-hariku dengan nasehat dan kata-kata indahnya. Wanita yang menguatkanku saat diri ini hampIr terpuruk. Wanita terbaik, terindah, terhebat yang sangat kucintai. Aaaah ibu ... tiba-tiba aku sangat merindukanmu, padahal kemarin kita bertemu saat engkau hadir dalam wisudaku. Senyummu pasti akan terus aku rindukan bu ... apalagi setelah ini pasti aku akan sangat sering merindukanmu. Yaa ... setelah ini anakmu ini akan semakin jauh darimu, karena pengajuan beasiswa S2-ku di salah satu Universitas yang berada di Jepang telah mendapatkan persetujuan dari pihak kampus sana. Yaa ... aku lulus setelah mengikuti serangkaian ujian untuk menembus beasiswa S2 di Jepang. Itu bukan suatu kebetulan, semua kekuatan berawal dari engkau bu dan salah satunya berawal dari kata-kata yang kutempel di tembok kamar kosku ini.

Namaku Indira Anindhita, aku anak pertama dari dua bersaudara, Adikku Alexandra Anindhia. Memiliki adik perempuan cantik, awalnya menyenangkan untukku. Adikku putih, sangat cantik dan lucu saat kecil. Melihatnya tidak ada yang tidak gemas, semua memuji adikku. Aku bangga sekali saat itu sebagai kakak. Tapi ... tiba-tiba ... suara itu sering sekali memenuhi indra pendengaranku, mengusikku, menggangguku, bahkan membuatkan menjadi benci pada diriku sendiri, adikku dan juga semua yang ada di sekitarku.Insecure ... aku begitu insecure sejak dini.

“Dira ... kok kamu hitam sih, padahal ayah ibumu putih lo,”ucap budhe Asih padaku yang masih sangat kecil mencerna kata-kata ejekan itu.

“Kok rambutmu kriwul siiih ... lihat rambut adikmu lurus indah,” kata tante Irma suatu hari.

“Senyum dong Dir ... jangan cemberut terus, lihat seperti adikmu itu sumeh,”Paklik Ari ikut-ikutan menambahi.

“Eeeh ... semakin lama kok kamu semakin tidak mirip dengan ayah ibumu ya, ayo ... jangan-jangan kamu bukan anaknya, mungkin kamu anak yang diambil dari panti asuhan,” Pakdhe Karwo sering menggodaku dengan kata-kata itu.Yang membuatku pernah berfikir bahwa itu benar, sehingga aku pernah menangis tersedu-sedu saat mengingatnya.

“Alexandra jauh ya kalau dibandingkan Dira, jauh lebih cantik,”suatu ketika kudengar tante Ira tetangga depan rumah berbisik pada tante Desi yang duduk disampingnya, saat itu Dira ikut arisan ibu.

Kata-kata itu seperti begitu akrab dengan Dira, kemanapun dan dimanapun Dira pergi komentar itu sering dia terima. Aku ... Indira merasa ditakdirkan untuk menerima ejekan dari semua orang. Aku berkulit hitam, rambut kriwul dan wajah terkesan “judes”, ingiiin ... ingiin sekali aku sering tersenyum, tapi bukankah dunia tak pernah bersahabat denganku? Dunia begitu kejam menghukum Indira yang tidak cantik seperti ibu dan adikku. Dunia seakan menghakimi dan menuding mukaku, kamu jelek ... kamu jelek ... kamu jelek. Sejak kecil, bahkan berlanjut sampai aku sekolah.

“Alexa ... apa benar itu kakakmu, kok tidak sama?”kata Ica teman Alexa.

“Kok bisa ya Dir, kamu punya adik secantik Alexa, sedang kamu ...,” suatu ketika temannya Ratri mengucapkan kata-kata itu dengan pandangan mengejek padanya.

Dan kata-kata itulah mengapa membuat Dira tidak mau satu sekolah dengan adiknya, dia membenci apapun tentang Alexa, senyumnya, kata-katanya. Benci ... benci sekali. Padahal Alexa sangat baik padanya, Alexa menyayanginya. Tidak pernah malu mengenalkan pada teman-temannya kalau Dira adalah kakaknya. Bahkan Alexa begitu bangga bercerita pada teman-temannya tentang Dira yang selalu rangking 1 sejak SD. Tapi Dira tetap tidak suka, tidaaaaaaak!!!

Suatu ketika saat di ruang tamu Alexa bertanya pada Dira, saat itu Dira kelas IX SMP dan Alexa kelas VII SMP karena mereka jarak usianya 2 tahun.

“Kakak ... apa kakak membenciku, kenapa kakak sepertinya tidak suka padaku?” tanya Alexa pelan.

“Kamu pikir sendiri kenapa aku tidak suka padamu,”jawab Dira ketus.

“Tapi kak ... apa salahku?” tanya Alexa lagi.

“Salahmu ... kamu terlalu cantik,” kata Dira dengan berteriak dan dengan tatapan sinis .

Tiba-tiba terdengar suara ibu berteriak keras.

              “Diraaaa ... apa yang kau katakana pada adikmu?”, teriak ibu yang ternyata sudah berdiri di belakang Dira.

Dira kaget sekali dengan teriakan ibu, tidak pernah ibu berteriak seperti itu, bahkan saat Dira nakal sekalipun. Tapi hari ini ... ibu yang biasanya lembut dalam berbicara jadi meneriakinya, hanya untuk membela Alexa bukan?

              “Berarti benar dugaanku, ibu lebih sayang Alexa,”kata Dira dalam hati sambil terisak, hatinya sakit sekali saat itu.

Dira segera berlari menuju kamarnya, dia tumpahkan segala sakit pada bantal di kamar tidurnya. Air mata berderai tidak berhenti.

              “Aku tidak peduli sekarang dengan hidupku, ibu sudah tidak menyayangiku lagi. Semua mengejekku, Tuhan sangat tidak adil padaku,”kata Dira dalam hatinya, saat mengatakan itu airmata semakin deras berderai.

Menangis, terus menangis itu yang dirasakan Dira siang itu. Hatinya sakit sekali, dia putus asa dengan hidupnya. Akhirnya setelah lama menangis, Dira tertidur di kamarnya. Dia bermimpi berubah menjadi putri yang sangat cantik dan semua orang mengaguminya. Dira sangat bahagia dalam mimpinya.

              Dira tertidur sangat nyenyak, dia baru membuka mata setelah hampir 1 jam tertidur dan dia kaget saat terbangun, karena ayah, ibu dan Alexa sudah mengelilinginya, duduk di tempat tidurnya. Dira mengucek matanya hamper tidak percaya, tiba-tiba Alexa memeluk Dira sangat erat ... yaaa...sangat erat.

              “Kakaaaak ... maafkan Alexa, maafkan kalau Alexa salah. Jangan sedih kaak,” kata Alexa sambil menangis terisak.

Dira belum sepenuhnya menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba ayah dan ibu ikut memeluknya. Eraaaat sekali .... sampai Dira hampir sesak nafas. Tapi kedamaian ini, begitu damai dalam pelukan ayah, ibu dan adiknya. Dira merasakan itu.

              “Naak ... bagi kami kau adalah anak yang istimewa,” kata ayah dengan suara bergetar.

              “Kami semua menyayangimu anakku yang cantik,” kata ibu dengan suara terisak.

              Luruuuh ... hati Dira luruh dalam rasa bersalah yang terdalam, dia begitu bodoh pernah berfikir bahwa tidak ada yang mencintai dan menyayanginya.

“Apaaa ... kata ibu aku cantik? Aaaaah ... kenapa aku baru sadar kalau kata-kata itu sering dia terima dari ayah dan ibunya, kenapa kemarin dia begitu peduli dengan kata-kata orang lain, sehingga tidak menyadari semua itu?” Dira berkata dalam hati dan tergugug dalam tangisan penyesalan.

“Dira juga minta maaf ayah ... ibu ... Alexa, Dira belum bisa menjadi anak baik seperti harapan ibu,” kata Dira akhirnya dan mereka berempat berpelukan dengan penuh sayang.

Setelah itu ayah mengajak sekeluarga untuk sholat maghrib saat adzan maghrib sudah terdengar, bersama-sama berdzikir cukup panjang, membaca surat Ar Rahman dan ditutup dengan sholat Isya berjamaa’ah. Damai ... hati Dira damai. Ayah memandang Dira sambil mengucapkan “Fabiayyi Ala Irobbikuma Tukadziban” sambil mengacak ujung kepala Dira dengan sayang. Setelahnya makan malam bersama dengan lauk telur ceplok favorit Dira.

Malam itu Dira tidur ditemani ibu dan Alexa, ibu meminta Dira bercerita tentang apapun yang dirasakannya, tentang sakit hatinya, tentang rasa irinya pada adiknya, tentang insecurenya akan fisiknya yang tidak cantik, tentang apaaaa saja. Ibu dan Alexa mendengarkan curahan hati Dira tanpa memutuskan ceritanya sedikitpun. Dira merasa sangat lega setelah hampir 2 jam mencurahkan isi hatinya. Legaaa ... lega sekali rasanya. Dilihatnya ibu dan Alexa tersenyum dan senyum itu kenapa sekarang terlihat begitu indah?.

Setelah Dira selesai bercerita, ibu berkata sambil memegang pundak Dira dan memandang manik mata Dira dengan pandangan sayang.

“Cantik itu perlu

Tapi pintar itu lebih perlu

Cantik itu penting

Tapi kebaikan hati lebih penting

Cantik itu utama

Tapi bersyukur itu lebih utama”

Dan nasehat itu terucap, disamping kata-kata penguat lain dan cerita tentang masa kecil Dira yang lucu dan mengesankan.

              “Kamu adalah anak yang pertama lahir, anak yang membuka pintu bahagia di keluarga ini. Kau cahaya yang takkan pernah pudar di hati kami. Kami menyayangi dan membutuhkan indah senyummu nak ... mengapa kau harus peduli dengan kata-kata orang lain?” kata ibu setelah sekian lama bercerita.

Dira tertegun sesaat, ternyata selama ini dia telah dibutakan dengan rasa sakit dari ucapan orang lain, sampai dia lupa untuk bersyukur akan cinta yang selalu mengiringi hari-harinya. Dira tersenyum penuh arti.

              “Besuk ... aku harus berbeda!!!” kata Diri dalam hati, hatinya terasa bersinar penuh cahaya, dunianya kini indah dan berwarna selaksa Pelangi yang hadir setelah mendung menutup indahnya langit.

              Dan sekarang Dira di kamar kos ini yang penuh dengan piala dan piagam kemenangannya di berbagai lomba akademik yang diikutinya, kemarin Dira juga dinobatkan sebagai Mahasiswa terbaik dengan IP tertinggi tahun ini dan bulan depan dia akan berangkat ke Jepang untuk mengikuti kuliah dengan beasiswa full.

              “Yaaa ... Akulah Dira ... Aku cantik ... Cantik dengan segala yang kupunya,” kata Dira sambil tersenyum.

“Aku tidak takut lagi akan buruknya dunia memandangku, karena aku tahu keluargaku menguatkanku”


Komentar

  1. Membuat dongeng, cerita atau novel, menurut saya tidaklah mudah. Karena harus "hidup" agar alur cerita menarik. Salut bu.... teruskan bakatnya mendongeng

    BalasHapus
    Balasan
    1. Trm ksh pak....hanya tulisan ini yg bs sy karyakan

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi buku Slilit Sang Kyai

WEBINAR LITERASI PGRI KABUPATEN TULUNGAGUNG

DONGENG : TIDAK BISA HIDUP SENDIRI